Laman

SELAMAT DATANG DIBLOGKU, JANGAN LUPA BERIKAN KOMENTARMU

Jumat, 13 Januari 2012

EMILE DURKHEIM


FAKTA SOSIAL DAN ANALISIS SOSIOLOGIS

A.    Biografi Singkat Karir Intelektual Emile Durkheim
Emile Durkheim lahir tahun 1858 di Epinal, suatu perkampungan kecil orang Yahudi di Bagian timur Prancis yang agak terpencil dari masyarakat luas. Masalah-masalah dasar tentang moralitas dan usaha meningkatkan moralitas masyarakat merupakan perhatian pokok selama hidupnya. Pada usia 21 tahun, Durkheim diterima di Ecole Normale Superieure. Dua kali sebelumnya dia gagal dalam ujian masuk yang sangat kompetitif, walaupun sebelumnya dia sangat cemerlang dalam studinya. Di masa mudanya, Durkheim menginginkan satu dasar yang lebih teliti dalam ilmu yang dia rasa dapat membantu memberikan satu landasan bagi rekonstruksi moral masyarakat. Sesudah menamatkan pendidikannya, Durkheim mulai mengajar. Selama lima tahun ia mengajar dalam satu sekolah menengah atas (lycees) di daerah Paris.

Sejak awal karir mengajarnya, Durkheim bertekad untuk menekankan pengajaran praktis ilmiah serta moral daripada pendekatan filsafat tradisional yang menurut dia tidak relevan dengan masalah sosial dan moral yang gawat yang sedang melanda Republik ketiga itu.
1.      Melembagakan Sosiologi sebagai Satu Disiplin Akademis
Pada tahun 1887, ketika Durkheim berusia 29 tahun, pemberian kuliahnya dan beberapa artikel yang ditulisnya membuat dia menjadi seorang ahli ilmu sosial muda yang terpandang. Untuk itu, dia dihargai dengan pengangkatannya di fakultas pendidikan dan fakultas ilmu sosial di Universitas Bordeaux. Tahun 1896 Durkheim diangkat menjadi professor penuh dalam ilmu sosial. Kemudian tahun 1899 Durkheim ditarik ke Sorbonne, dan dia dipromosikan sebagai professor penuh dalam ilm u pendidikan pada tahun 1906. Pada tahun 1913 kedudukan Durkheim diubah ke ilmu pendidikan dan sosiologi. Akhirnya, secara resmi didirikan dalam lembaga pendidikan yang sangat terhormat di Prancis. Tahun 1917, pada usia 59 tahun Durkheim meninggal, sesudah menerima penghormatan dari orang-orang semasanya untuk karirnya yang produktif dan bermakna, serta setelah ia mendirikan dasar sosiologi ilmiah.
2.      Pengaruh Sosial dan Intelektual terhadap Durkheim
Perhatian Durkheim sepanjang hidupnya terhadap solidaritas dan integrasi sosial muncul antara lain karena keadaan keteraturan sosial yang goyah di masa Republik Ketiga selagi dia masih muda. Durkheim lebih tertarik untuk berusaha memahami dasar-dasar munculnya keteraturan sosial yang baru. Dia melihat kesulitan-kesulitan selama periode peralihan dimana dia hidup, tetapi dia juga optimistis bahwa pengetahuan ilmiah tentang hukum masyarakat dapat menyumbang terkonsolidasinya dasar moral keteraturan sosial yang sedang muncul itu.
Perhatian Durkheim terhadap moralitas umum terjadi bersamaan dengan masa peralihan dalam sistem pendidikan di Prancis. Durkheim memandang pengajaran moralitas umum bagi warga di masa mendatang dalam tahun-tahun pembentukannya merupakan hal yang sangat penting untuk memperkuat dasar-dasar masyarakat dan meningkatkan integrasi serta solidaritas sosialnya.
3.      Pertentangan dengan Individualisme Spencer
Seperti Comte dan Durkheim, Spencer tertarik pada perkembangan evolusi jangka panjang dari masyarakat-masyarakat modern. Namun pandangan Spencer mengenai masyarakat yang bersifat organis berbeda dengan pandangan dari Comte dan Durkheim. Bagi Spencer, kunci untuk memahami gejala sosial atau gejala alamiah lainnya adalah hukum evolusi yang universal.
Perbedaan yang penting antara Spencer dengan Comte dan Durkheim adalah pandangan Spencer mengenai kenyataan sosial yang bersifat individualistis. Namun Spencer berusaha mendamaikan kedua pandangan ini dengan mengemukakan perbedaan-perbedaan pokok antara “organisme” biologis dan sosial. Tidak seperti satu organisme biologis, suatu masyarakat tidak mempunyai kulit penutup dan tidak mempunyai sumber inteligensi yang senttral atau sumber kontrol yang analogis dengan otak. Sebaliknya, pelbagai “bagian” dari masyarakat tersebar, dan masing-masing bagian itu memiliki inteligensi dan kontrol dirinya sendiri. Masyarakat tidak terlepas dari individu-individu yang merupakan “bagian-bagian”nya. Masyarakat ada sebagai hasil dari persetujuan kontraktual dimana individu saling berembuk untuk mengejar kepentingan pribadinya.
Gambaran Spencer mengenai masyarakat yang ideal atau yang paling maju adalah masyarakat dimana individu memiliki kebebasan sebesar-besarnya untuk mengejar kepentingannya dan meningkatkan kebahagiaan tanpa diarahkan atau dikontrol oleh otoritas pusat manapun.
Pandangan Spencer mengenai peranan yang tepat dari pemerintah berbeda dengan pandangan Comte dan Durkheim. Gagasan Comte mengenai masyarakat positivis yang ideal di masa depan adalah masyarakat dimana pemimpin-pemimpin yang senantiasa mendapat penerangan sosiologis akan memberikan kontrol yang kuat dalam mengatur pelbagai segi kehidupan sosial untuk memastikan bahwa hukum-hukum dasar yang mengendalikan keteraturan sosial dan kemajuan itu dipertahankan. Pandangan Durkheim kurang muluk, tetapi dia jugga melihat pemerintah sebagai pelindung dasar-dasar moral masyarakat.
Gambaran Spencer yang bersifat individualistik tentang kenyataan sosial sangaty berbeda dengan tekanan Durkheim bahwa fakta sosial mengatasi individu. Spencer mengasumsikan bahwa masyrakat merupakan hasil dari persetujuan kontraktual antara individu-individu yang bersepakat untuk mengejar kepentingan individunya.

B.     Pengertian, Tipe, dan Karakteristik Fakta Sosial
1.      Pengertian Fakta Sosial
Untuk memisahkan sosiologi dari filsafat dan memberinya kejelasan serta identitas tersediri, Durkheim (1895/1982/ menyatakan bahwa pokok bahasan sosiologi haruslah berupa studi atau fakta sosial. Secara singkat, fakta sosial terdiri dari struktur sosial, norma budaya, dan nilai yang berada di luar dan memaksa sktor.
Durkheim (1895/1982: 13), menyatakan bahwa “fakta sosial adalah seluruh cara bertindak, baku maupun tidak, yang dapat berlaku pada diri individu sebagai sebuah paksaan eksternal; atau bisa juga dikatakan bahwa fakta sosial adalah seluruh cara bertindak yang umum dipakai suatu masyarakat, dan pada saat yang sama keberadaannya terlepas dari manifestasi-manifestasi individual.”
Kutipan ini menjelaskan bahwa Durkheim memberikan dua definisi untuk fakta sosial agar sosiologi bisa dibedakan dari psikologi. Pertama, fakta sosial adalah pengalaman sebagai sebuah paksaan eksternal dan bukannya dorongan internal. Kedua, fakta sosial umum meliputi seluruh masyarakat dan tidak terikat pada individu partikular apapun.
Durkheim berpendapat bahwa fakta sosial tidak bisa direduksi kepada individu, namun esti dipelajari sebagai realitas mereka. Durkheim menyebut fakta sosial dengan istilah Latin sui generis, yang berarti “unik”
Durkheim sendiri memberikan beberapa contoh tentang fakta sosial, termasuk aturan legal, beban moral, dan kesepakatan sosial. Dia juga memasukkan bahasa sebagai fakta sosial dan menjadikannya sebagai contoh yang paling mudah dipahami, karena bahasa adalah sesuatu yang mesti dipelajari secara empiris, bahasa adalah sesuatu yang berada di luar individu, bahasa memaksa individu, dan perubahan dalam bahasa hanya bisa dipelajari melalui fakta sosial lain tidak bisa hanya dengan keinginan individu saja.
2.      Tipe-tipe Fakta Sosial
Fakta Sosial Material dan Nonmaterial
Durkheim membedakan dua tipe ranah fakta sosial, yaitu material dan nonmaterial. Fakta sosial material, seperti gaya arsitektur, bentuk teknologi, dan hukum dan perundang-undangan, relatif mudah dipahami karena keduanya bisa diamati secara langsung. Fakta sosial material seringkali mengekspresikan kekuatan moral yang lebih besar dan kuat yang sama-sama berada di luar individu dan memaksa mereka. Kekuatan moral inilah yang disebut dengan fakta sosial nonmaterial.
Studi Durkheim yang paling penting, dan inti dari sosiologinya, terletak dalam studi fakta sosial nonmaterial ini. Durkheim mengungkapkan: “Tidak semua kesadaran sosial mencapai .... eksternalisasi dan materialisasi” (1897/1951:315). Apa yang saat ini disebut norma dan nilai, atau budaya oleh sosiolog secara umum (Alexander,1988c) adalah contoh yang tepat untuk fakta sosial nonmaterial.
Jenis-jenis Fakta Sosial Nonmaterial:
a.       Moralitas
Perspektif Durkheim tentang moralitas terdiri dari dua aspek. Pertama, Durkheim yakin bahwa moralitas adalah fakta sosial, dengan kata lain, moralitas bisa dipelajari secara empiris, karena ia berada di luar individu, ia memaksa individu, dan bisa dijelaskan dengan fakta-fakta sosial lain. Artinya, moralitas bukanlah sesuatu yang bisa dipikirkan secara filosofis, namun sesuatu yang mesti dipelajari sebagai fenomena empiris. Kedua, Durkheim dianggap sebagai sosiolog moralitas karena studinya didorong oleh kepeduliannya kepada “kesehatan” moral masyarakat modern.
b.      Kesadaran Kolektif
Durkheim mendefinisikan kesadaran kolektif sebagai berikut; “seluruh kepercayaan dan perasaan bersama orang kebanyakan dalam sebuah masyarakat akan membentuk suatu sistem yang tetap yang punya kehidupan sendiri, kita boleh menyebutnya dengan kesadaran kolektif atau kesadaran umum. Dengan demikian, dia tidak sama dengan kesadaran partikular, kendati hanya bisa disadari lewat kesadaran-kesadaran partikular”.
Ada beberapa hal yang patut dicatat dari definisi ini. Pertama, kesadaran kolektif terdapat dalam kehidupan sebuah masyarakat ketika dia menyebut “keseluruhan” kepercayaan dan sentimen bersama. Kedua, Durkheim memahami kesadaran kolektif sebagai sesuatu terlepas dari dan mampu menciptakan fakta sosial yang lain. Kesadaran kolektif bukan hanya sekedar cerminan dari basis material sebagaimana yang dikemukakan Marx. Ketiga, kesadaran kolektif baru bisa “terwujud” melalui kesadaran-kesadaran individual.
Kesadaran kolektif merujuk pada struktur umum pengertian, norma, dan kepercayaan bersama. Oleh karena itu dia adlah konsep yang sangat terbuka dan tidak tetap. Durkheim menggunakan konsep ini untuk menyatakan bahwa masyarakat “primitif” memiliki kesadaran kolektif yang kuat, yaitu pengertian, norma, dan kepercayaan bersama , lebih dari masyarakat modern.
c.       Representasi Kolektif
Contoh representasi kolektif adalah simbol agama, mitos, dan legenda populer. Semuanya mempresentasikan kepercayaan, norma, dan nilai kolektif, dan mendorong kita untuk menyesuaikan diri dengan klaim kolektif.
Representasi kolektif juga tidak bisa direduksi kepada individu-individu, karena ia muncul dari interaksi sosial, dan hanya bisa dipelajari secara langsung karena cenderung berhubungan dengan simbol material seperti isyarat, ikon, dan gambar atau berhubungan dengan praktik seperti ritual.
d.      Arus Sosial
Menurut Durkheim, arus sosial merupakan fakta sosial yang tidak menghadirkan diri dalam bentuk yang jelas. Durkheim mencontohkan dengan “dengan luapan semangat, amarah, dan rasa kasihan” yang terbentuk dalam kumpulan publik.
e.       Pikiran Kelompok
Durkheim menyatakan bahwa pikiran kolektif sebenarnya adalah kumpulan pikiran individu. Akan tetapi pikiran individual tidak secara mekanis saling bersinggungan dan tertutup satu sama lain. Pikiran-pikiran individual terus-menerus berinteraksi melalui pertukaran simbol: mereka megelompokkan diri berdasarkan hubungan alami mereka, mereka menyusun dan mengatur diri mereka sendiri. Dalam hal ini terbentuklah suatu hal baru yang murni bersifat psikologis, hal yang tak ada bandingannya di dunia biasa.
Fakta Sosial lawan Fakta Individu
Durkheim bertahan pada pendiriannya bahwa fakta sosial itu tidak dapat di reduksikan ke fakta individu, melainkan memiliki eksistensi yang independen pada tingkat sosial. Durkheim dalam melihat gejala sosial, baik dalam satu kelompok kecil atau dalam masyarakat keseluruhannya, akan mempertahankan bahwa keseluruhan lebih besar daripada jumlah bagian-bagiannya. Meskipun karakteristik kelompok mungkin lebih daripada jumlah individu yang meliputi kelompok tersebut, kelompok tidak dapat ad secara terpisah dari anggota-anggota individualnya. 
3.      Karakteristik Fakta Sosial
Durkheim mengemukakan dengan tegas tiga karakteristik yang berbeda, yaitu :
a.       Gejala sosial bersifat eksternal terhadap individu.
Hampir setiap orang telah mengalami hidup dalam satu situasi sosial baru, mungkin sebagai anggota baru dari satu organisasi, dan merasakan dengan jelas bahwa ada kebiasaan-kebiasaan dan norma-norma yang sedan di amati yang tidak ditangkap atau dimengertinya secara penuh. Dalam situasi serupa itu, kebiasaan dan norma ini jelas dilihat sebagai sesuatu yang eksternal.
b.      Fakta itu memaksa individu.
Jelas bagi Durkheim bahwa individu dipaksa, dibimbing, diyakinkan, didorong atau dengan cara tertentu dipengaruhi oleh berbagai ftipe fakta sosia dalam lingkungan sosialnya. Seperti yang ia katakana bahwa tipe-tipe perilaku atau berfikir ini mempunyai kekuatan memaksa yang karenanya mereka memaksa individu terlepas dari kemauannya sendiri.
c.       Fakta itu bersifat umum.
Fakta tersebar secara meluas dalam suatu masyarakat. Dengan kata lain fakta sosial itu merupakan milik bersama, bukan sifat individu perorangan. Fakta sosial ini benar-benar bersifat kolektif, dan pengaruhnya terhadap individu merupakan hasil dari sifat kolektifnya ini.

C.    Strategi Untuk Menjelaskan Fakta Sosial
Salah satu prinsip metodologi dasar yang ditekankan Durkhem adalah bahwa fakta sosial harus dijelaskan dalm hubungannya dengan fakta sosial lainnya. Kemungkinan lain yang paling besar untuk menelaskan fakta sosial adalah menghubungkannya dengan gejala individu seperti yang dikemukakan oleh ahli-ahli ekonomi klasik dan oleh Spencer. Prinsip dasar yang kedua adalah bahwa asal usul suatu gejala sosial dan fungsi-fungsinya merupakan dua masalah yang terpisah.
Sesudah menentukan bahwa penjelasan tentang fakta sosial itu harus dicari di dalam fakta sosial lainnya, Durkheim memberikan strategi tentang perbandingan terkendali sebagai metode yang paling cocok untuk mengembangkan penjelasan kausal dalam sosiologi. Metode perbandingan Durkhem lebih ketat dan terbatas. Pada intinya, metode perbandingan terkaendali itu meliputi klasifikasi silang dari fakta sosial tertentu untuk menentukan sejauh mana mereka berhubungan. Kalau korelasi antara dua himpunan fakta sosial dapat ditunjukkan sebagai valid dalam berbagai macam keadaan, hal ini member satu petunjuk penting bahwa dua tipe fakta itu mungkin berhubungan secara kausal. Artinya, variasi dalam nilai dari satu tipe variable mungkin merupakan sebab dari variasi dalam nilai variable kedua.

PEMBAGIAN KERJA DALAM MASYARAKAT, INTEGRASI DAN SOLIDARITAS,
SOSIOLOGI AGAMA DAN FENOMENA BUNUH DIRI

A.    LATAR BELAKANG
Durkheim merupakan salah satu diantara tiga orang pemikir yang dipandang sebagai “raksasa” sosiologi. Sumbangannya dalam merampungkan sosiologi menjadi suatu disiplin ilmiah yang mandiri, yang dapat menjelaskan gejala kemanusiaan sebagai dampak dari dinamika kemasyarakatan, tidak dapat diabaikan begitu saja. Salah satu teori yang menjadi fokus kajiannya yaitu solidaritas sosial, yang membahas tentang proses pembentukan dan bertahanya solidaritas sosial.
Dalam karya lain, Durkheim membahas indikator-indikator solidaritas sosial, bagaimana dan mengapa gejala bunuh diri dapat dipandang sebagai indikator corak solidaritas sosial.
 
B.     PENERAPAN PEMBAGIAN KERJA MASYARAKAT DALAM IMPLIKASINYA PADA INTEGRASI DAN SOLIDARITAS
Durkheim hidup dimasa industrialisasi, dimana pembagian kerja meningkat secara pesat. Peningkatan ini terjadi baik didalam bidang ekonomi, politik, administratif, hukum, bahkan didalam ilmu pengetahuan. Dan ini tampak didaerah-daerah perkotaan yang dengan jelas memperlihatkan peningkatan kompleksitas dan spesialisasi pekerjaan. Sedemikian besarnya peningkatan pembagian pekerjaan ini hingga kaitannya dengan tatanan sosial tidak dapat diabaikan begitu saja. Dengan hubungan yang kuat diantara pembagian kerja dengan solidaritas sosial, Durkheim berpandangan bahwa struktur pembagian kerja disuatu masyarakat akan memebentuk corak solidaritas sosial yang khas dari masyarakat itu.
Menurut Durkheim, perbedaan-perbedaan mendasar diantara masyarakat dengan tingkat pembagian kerja rendah dan masyarakat dengan tingkat pembagian kerja tinggi yaitu:
1.      Anggota-anggota masyarakat dengan tingkat pembagian kerja yang rendah terikat satu sama lain atas dasar kesamaan emosional dan kepercayaan, serta adanya komitmen moral. Ikatan ini disebut sebagai solidaritas mekanik.
2.      Berkaitan dengan hal ini, solidaritas sosial dimasyarakat dengan tingkat pembagian kerja yang rendah dilandaskan pada kesadaran kolektif yang kuat.
3.      Sementara dimasyarakat yang memiliki pembagian kerja yang tinggi, homogenitas tak lagi menjadi prinsip untuk mempertahankan kesatuan masyarakat.
Solidaritas mekanik
Solidaritas mekanik didasarkan pada suatu kesadaran kolektif bersama, yang menunjuk pada totalitas kepercayaan-kepercayaan dan sentimen-sentimen bersama yang rata-rata ada pada masyarakat yang sama. Solidaritas ini merupakan bentuk yang tergantung pada individu-individu yang memiliki sifat-sifat yang sama dan menganut pemikiran normatif yang sama pula. Menurut Durkheim, indikator yang paling jelas untuk solidaritas mekanik adalah ruang lingkup dan kerasnya hukum-hukum yang bersifat menekan atau repressive.
Maksud dari hukum ini adalah apabila terdapat suatu kesalahan yang dilakukan oleh anggotanya, maka kesalahan tersebut dianggap sebagai perbuatan jahat dan sanksi yang dapat diterima tidak bersifat rasional dan kemarahan kolektif dari anggota lainnya. Ciri khas lain dari solidaritas mekanik adalah bahwa solidaritas itu didasarkan pada suatu tingkat homogenitas yang tinggi dalam kepercayaan, sentimen, dan sebagainya. Homogenitas tersebut hanya memungkinkan adanya pembagian kerja yang sangat minim. Berikut ini contoh dari solidaritas mekanik:
Sebagian besar sekte yang bebas di masyarakat Amerika memperlihatkan variasi yang tinggi terhadap toleransi akan perbedaan dalam kepercayaan, namun disisi lain di wilayah gereja-gereja konservatif yang lebih bersifat picik dalam mengharapkan adanya kesesuaian yang mutlak terhadap doktrin-doktrin resmi dan kekuatan integrasinya pun tinggi. Meskipun ada perbedaan-perbedaan tingkatan terhadap satu orientasi agama merupakan dasar pokok dari terbentuknya integrasi sosial dan ikatan yang mempersatukan individu dalam organisasi itu.

Solidaritas organik
Solidaritas organik muncul karena adanya pembagian kerja yang bertambah besar. Solidaritas ini didasarkan pada tingkat saling ketergantungan yang tinggi, ketergantungan ini bertambah sebagai hasil dari bertambahnya spesialisasi dalam pembagian pekerjaan, yang memungkinkan dan juga menggairahkan bertambahnya perbedaan dikalangan individu. Durkheim mempertahankan bahwa kuatnya solidaritas organik ditandai oleh pentingnya hukum yang bersifat memulihkan atau restitutive yakni yang berfungsi mempertahankan dan melindungi pola saling ketergantungan yang kompleks antara berbagai individu yang berspesialisasi atau kelompok-kelompok dalm masyarakat. Oleh karena itu, hukum ini bukan bersifat balas dendam dan bersifat rasional bukan berdasarkan kemarahan dari anggota kelompok yang lain terhadap penyimpang. Berikut ini contoh dari solidaritas organik:
Dalam suatu perusahaan dagang, terdapat sesuatu yang dapat mempersatukan mereka. Besar kemungkinan karena faktor ekonomi ataupun gaji yang diterima oleh masing-masing anggota. Akan tetapi, didalam suatu organisasi tersebut mungkin memperlihatkan saling ketergantungan yang penting antara anggota yang saling berpartisipasi terhadap perusahaan dagang tersebut. Jadi dalm suatu perusahaan dagang yang mungkin terdiri dari manager, pegawai, teknisi, pelayan, dan sebagainya. Dengan adnya spesialisasi atau pembagian kerja sesuai dengan kemampuan anggota akan saling tergantung membentuk suatu sistem untuk membentuk solidaritas secara menyeluruh yang berfungsi dan didasarkan oleh ketergantungan antara anggota satu dengan lainnya.
Perbedaan antara solidaritas mekanik dan organik

Solidaritas mekanik
Solidaritas organik
Pembagian kerja rendah
Pembagian kerja tinggi
Kesadaran kolektif kuat
Kesadaran kolektif rendah
Hukum represif dominan
Hukum restitutif dominan
Individualitas rendah
Individualitas tinggi
Konsesus terhadap pola-pola normatif penting
Konsensus pada nilai abstrak dan umum penting
Keterlibatan komunitas dalam menghukum yang menyimpang
Badan-badan kontrol sosial yang menghukum penyimpang
Ketergantungan rendah dan bersifat primitif atau pedesaan
Saling ketergantungan tinggi dan bersifat industrial perkotaan



C.     






PEMAHAMAN EMILE DURKHEIM TERHADAP SOSIOLOGI AGAMA
Dalam tulisan-tulisannya yang paling dini, Durkheim mengulas arti penting dari agama dalam masyarakat dan mengenalnya sebagai sumber orisinil dari semua gagasan moral, filsafat, ilmu pengetahuan dan keadilan. Di dalam The Devision of Labour, Durkheim  menggarisbawahi tesis bahwa kepercayaan apapun yang membentuk bagian dari conscience collective cenderung untuk mengasumsi sifat agama, meskipun di dalam karya itu hal ini hanya dikemukakan ‘sebagai suatu dugaan yang sangat mungkin’ yang memerlukan penelitian lebih lanjut. Akan tetapi, pengakuan Durkheim tentang kemungkinan adanya arti penting dari agama dalam kaitannya dengan pengaruh conscience collective dalam masyarakat, diimbangi oleh suatu kesadaran tentang adanya kenyataan bahwa perubahan-perubahan yang menonjol telah terjadi dengan munculnya jenis masyarakat yang modern. Durkheim secara konsisten mendukung kesimpulan yang telah diambil pada titik dini dari kariernya, bahwa baik orang-orang yang mempertahankan teori-teori ekonomi lama keliru dalam berpikir bahwa sekarang tidak perlu ada pengaturan, dan bahwa pembela lembaga-lembaga keagamaan salah dalam mempercayai bahwa pengaturan waktu yang lalu bisa berguna bagi masa sekarang.
Durkheim menemukan hakikat abadi agama dengan cara memisahkan yang sakral dari yang profan. Yang sakral tercipta melalui ritual-ritual yang mengubah kekuatan moral masyarakat menjadi simbol-simbol religius yang mengikat individu dalam suatu kelompok. Masyarakat melalui individu menciptakan agama dengan mendefinisikan fenomena tertentu sebagai sesuatu yang sakral sementara yang lain sebagai profan. Aspek realitas sosial yang dianggap sakral inilah yaitu suatu yang terpisah dari peristiwa sehari-hari yang membentuk esensi agama. Segala sesuatu yang lainnya dianggap profan atau tempat umum yaitu suatu yang bisa dipakai sebagai aspek kehidupan duniawi. Disatu pihak, sakral melahirkan sikap hormat, kagum dan bertanggungjwab. Dilain pihak, sikap terhadap fenomena inilah yang membuatnya dari profan menjadi sakral. Durkheim berpendapat bahwa secara simbolis masyarakat menubuh kedalam masyarakat itu sendiri. Agama adalah sistem simbol yang dengannya masyarakat dapat menyadari dirinya. Inilah satu-satunya cara yang bisa  menjelaskan kenapa setiap masyarakat memiliki kepercayaan agama, akan tetapi masing-masing kepercayaan tersebut berbeda satu sama lain. Dengan kata lain masyarakat adalah sumber dari kesakralan itu sendiri. 
Arti agama yang mulai menurun dalam masyarakat-masyarakat kontemporer merupakan akibat yang tidak bisa dielakkan dari arti pentingnya solidaritas mekanis yang makin menurun. Dengan demikian, segi penting yang kita kaitkan dengan sosiologi agama sedikitpun tidak mempunyai implikasi bahwa agama itu harus memainkan peran yang sama dengan masyarakat-masyarakat sekarang. Seperti yang dimainkannya pada waktu-waktu lain. Mengingat agama adalah suatu fenomena kuno, maka agama makin lama makin harus mengalah kepada bentuk-bentuk sosial baru yang telah dilahirkanya.
Baru setelah tahun 1895, Durkheim mengakui bahwa dia sepenuhnya menyadari tentang arti penting pada agama sebagai suatu fenomena sosial. Menurut kesaksianya sendiri, kesadaran tentang adanay arti penting agama, yang sebagian besar nampaknya merupakan hasil dari usahanya membaca karya-karya para ahli antropologi Inggris, menyebabkan dia untuk menilai kembali tulisan-tulisannya yang terlebih dulu, untuk menarik implikasi-imlikasi dari pengertian-pengertian yang baru ini. Tafsiran konvensional dari halaman ini, ialah bahwa Durkheim bergeser dari posisi yang relatif ‘ materialistik’ yang ia anggap telah dia pegang dalam The Devision Of Labour, ke arah suatu pendirian yang lebih dekat kepada ‘idealisme’. Akan tetapi, ini meyesatkan kalau sama sekali tidak salah, dan merupaka salah tafsir tentang pandangan-pandangan Durkheim, yang sebagian berasal dari kecenderungan yang sering timbul pada para penulis sekunder untuk menggabungkan analisis fungsioanal dengan analisis historis dari Durkheim melalui cara yang sebenarnya pada kenyataanya asing bagi pemikiran Durkheim sendiri. Durkheim juga menekankan, hampir sama dengan yang dilakukan oleh Marx, sifat historis manusia, dan menegaskan bahwa analisis sebab-musabab dari perkembangan sejarah itu integral dengan sosiologi, sejarah tidak saja merupakan kerangka kehidupan manusia, manusia adalah produk dari sejarah. Bila orang memisahkan manusia dari sejarah, jika orang membayangkan bahwa nmanusia berada di luar waktu, tetap dan tidak bergerak, maka orang itu mengesampingkan sifat manusianya. Dasar utama yang mendasari teori yang disajikan dalam The Elementary Forms On the Religious Life, bersifat fungsional; yaitu berkaitan dengan peran fungsi agama dalam masyarakat. Akan tetapi, The Elementary Forms harus dibaca secara genetis, dalam kaitanya dengan rentatan perubahan-perubahan menonjol yang telah membuat mayarakat modern sangat berbeda dari sebelumnya.
Dengan melancarkan kritik terhadap Tonnies pada permulaan kariernya, Durkheim menekankan bahwa tidak ada perpecahan mutlak antara solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Solidaritas organik menduga adanya pengaturan moral yang sama banyaknya dengan yang diduga oleh jenis solidaritas mekanik, walaupun pengaturan itu bukanlah dalam bentuk tradisional. Arti penting dari pengertian Durkheim yang baru mengenai agama, seperti yang dikembangkan dalam The Elementary Forms, ialah bahwa pengertiannya yang baru itu membimbing ke arah penjelasan sifat dari kesinambungan ini antara bentuk-bentuk masyarakat tradisional dan masyarakat modern. Agar bisa memahami bentuk-bentuk baru itu, orang harus menghubungkanya dengan asal mula masing-masing agamanya, akan tetapi dalam melakukan penghubungan itu tanpa mengacau-balaukan asal mula agama dengan fenomena-fenomena agama, demikian bila dikatan secara tepat.
Kepercayaan, Ritual, dan Gereja
Perbedaan antara yang sakral dan yang profan serta terangkatnya beberapa aspek kehidupan sosial ke level yang sakral memang merupakan syarat mutlak bagi keberadaan agama, namun belum cukup sebagai syarat kemungkinannya. Tiga syarat lain yang dibutuhkan adalah: pertama, harus ada pengembangan kepercayaan religius. Kedua, harus ada ritual agama, yaitu aturan tingkah laku yang mengatur bagaimana seorang manusia harus bersikap terhadap hal-hal yang sakral tersebut. Ketiga, agama membutuhkan gereja, atau suatu komunitas moral yang melingkupi seluruh anggotanya. Hubungan timbal balik antara yang sakral, kepercayaan, ritual dan gereja mendorong Durkheim untuk mengemukakan definisi agama sebagai berikut: “Agama adalah kesatuan sistem kepercayaan dan praktik yang menyatu dalam sebuah komunitas moral tunggal yang dinamai Gereja, semua yang melekat padanya.
Ritual dan Gereja sangat penting dalam teori agama Durkheim karena keduanya menghubungkan representasi sosial dengan praktik individu. Individu mempelajari sesuatu yang sakral dan kepercayaannya yang berbaur melalui keikutsertaan dia dalam ritual dan komunitas gereja. Ritual dan Gereja menjaga representasi masyarakat dari kehilangan tekanan mereka dengan mengulang reaksi ingatan kelompok kolektif secara dramatis.
Kenapa Primitif?
Meskipun penelitian yang dipaparkan dalam The Elementary Forms bukan milik Durkheim, tetapi itu diperlukan karena komitmennya terhadap ilmu empiris, untuk mengungkapkan pemikirannya tentang agama dalam bentuk data yang dipublikasikan. Sumber utama dari datanya adalah studi tentang suku Arunta di Australia yang menurut Durkheim merupakan representasi budaya primitif. Alasan Durkheim mempelajari agama dalam budaya primitif yaitu, dia percaya lebih mudah memperoleh pengetahuan tentang hakikat agama dalam budaya primitif  karena sistem ide agama primitif kurang berkebang daripada modern. Bentuk agama dari masyarakat primitif bias dilihat dari seluruh keaslian mereka dan tidak membutuhkan usaha keras untuk mengungkapnya.
Totemisme
Totemisme adalah sistem agama dimana sesuatu, bisa binatang, dan tumbuhan dianggap sakral dan jadi simbol klan. Durkheim menganggap totemisme sebagai bentuk agama yang paling sederhana dan paling primitif dan dia percaya bahwa totemisme terkait dengan bentuk paling sederhana dari organisasi sosial sebuah klan.
Individu yang mengalami kekuatan sosial yang begitu dahsyat ketika mengikuti upacara suku atau klannya akan berusaha mencari penjelasan atas pengalamannya tersebut. Totem adalah representasi material dari kekuatan nonmaterial yang menjadi dasarnya, dan kekuatan nonmaterial itu tak lain adalah masyarakat. Totemisme dan agama secara umum, berasal dari moralitas kolektif dan menjadikan dirinya sebagai kekuatan impersonal. Jadi dia bukanlah sekedar binatang, tumbuhan, sosok, roh atau dewa-dewi mistis.  
Rasionalitas, etika dan kultus individu
Analisis ini bisa dikaitkan lagi kepada teori campur berbaurnya agama dan moralitas yang bersifat primitif. Di mana-mana dalam pemikiran keagamaan, orang telah membayangkan diri sebagai dua makhluk berlainan, raga dan jiwa. Raga dikatakan berada di dunia materiil, jiwa di dalam lingkungan yang tidak kontinu dari yang kudus. Tiap orang memulai kehidupanya sebagai makhluk yang egoistis (walaupun ternyata bukan makhluk anomi), yang hanya mengetahui perasaan, di mana kegiatan-kegiatanya dikuasai oleh kebutuhan-kebutuhan rasa. Kecenderungan kea rah individualisme yang makin meningkat, tidak bisa dibalikkan, oleh karena kecenderungan itu adalah hasil dari perubahan-perubahan sosial yang menonjol, yang diperincikan dalam The Devision  of Labour. Hal ini adalah yang ada pada akar konsepsi Durkheim tentang kebebasan, dan dalam kaitannya dengan orde sosial. Kebebasan tidak bisa diidentifikasikan dengan pembatasan ini adalah anomi, suatu keadaan dimana pribadi-pribadi orang tidak bebas oleh karena mereka itu diikat rantai kepada keinginan-keinginan mereka sendiri yang tidak habisnya. Tiada jenis organisasi kehidupan, demikian dikemukakan oleh Durkheim, yang tidak berfungsi menurut prinsip-prinsip tertentu yang tetap; sama juga halnya dengan kehidupan sosial.
Masyarakat  adalah suatu organisasi dari antar-antar hubungan, dan semata-mata oleh fakta ini membawasertakan pengaturan tentang perilaku yang cocok dengan prinsip-prinsip yang telah berakar, yang dalam masyarakat hanya bisa merupakan peraturan-peraturan moral. Yang menjadi pusat dari tesis Durkheim, ialah bahwa semua bentuk pengaturan moral tidak begitu saja bisa disejajarkan dalam arti yang abstrak dan universal, dengan ‘takada pengaturan’. Dilema yang dihadapi oleh bentuk modern dari masyarakat demikian tetap dipertahankan oleh Durkheim, bukanlah harus diselesaikan dengan suatu pengembalian ke disiplin otokratik, yang terdapat dalam masyarakat-masyarakat tradisional, akan tetapi hanya dengan jalan konsolidasi moral dari pembagian kerja yang beraneka ragam, yang menuntut bentuk-bentuk otoritas yang sama sekali berlaianan dengan bentuk-bentuk otoritas yang menjadi ciri  khas dari jenis-jenis terlebih dulu dari masyarakat.

D.    ANALISIS FENOMENA BUNUH DIRI MENURUT  EMILE  DURKHEIM
Karya besar Durkheim mengenai bunuh diri ini merupakan usaha beliau untuk menguji pandangannya tentang fakta sosial. Durkheim mendefinisikan “bunuh diri” sebagai: “…semua kasus kematian yang disebabkan, baik secara langsung maupun tidak langsung oleh tindakan positif maupun negatif pelakunya. Dan sang pelaku tahu bahwa tindakan ini akan menyebabkan kematiannya”.
Telaah tentang bunuh diri sendiri bukan hal yang baru pada saat Durkheim melakukan studinya. Pada masa itu ada dua tafsiran yang umum dikenal tentang penyebab bunuh diri, yaitu: tafsir gangguan psikologis, tafsir biologis dan tafsir ekologis. Dalam tafsir gangguan psikologis, bunuh diri dilihat sebagai gejala individual yang terjadi karena pelakunya menderita gangguan mental.
Bunuh diri menurut tafsir psikologis disebabkan oleh empat tipe gangguan mental, yaitu:
1.      Maniacal suicide, yaitu bunuh diri yang disebabkan oleh halusinasi. Bunuh diri tipe ini dilakukan oleh orang yang berada dalam keadaan depresi berat dan kesedihan yang meluap-luap.
2.      Obsessive suicide, yaitu kasus-kasus bunuh diri yang tidak dilandaskan pada motivasi tertentu, tetapi dilandaskan semata-mata pada obsesi yang begitu kuat kematian terhadap kematian.
3.       Impulsive atau automatic suicide, yaitu tindakan bunuh diri yang semata-mata dilandaskan pada dorongan impulsif.
Menurut Durkheim, tafsir psikologis ini susah untuk dipertanggungjawabkan kebenarannya karena tidak semua pelaku bunuh diri mengalami gangguan psikologis. Berdasarkan data yang dikumpulkan Durkheim, terlihat adanya hubungan di antara kasus bunuh diri dengan ciri-ciri sosial pelakunya. Beberapa ciri tersebut yaitu:
1.      Jenis kelamin
2.      Agama
3.      Usia
4.      Asal Negara
Singkatnya, bunuh diri itu bukan sekedar dampak dari faktor-faktor psikologis.
Sebagaimana dengan tafsir psikologis, Durkheim juga menolak anggapan tafsir biologis yang menganggap adanya hubungan di antara kasus bunuh diri dengan ras dan asal-usul keturunan pelakunya. Hal ini didasarkan pada ketidakjelasan “ras” yang digunakan dan data-data statistik yang diperoleh Durkheim lebih merujuk pada faktor non biologis yang melatarbelakangi seseorang melakukan tindak bunuh diri.
Hasil tafsir ekologis juga tidak memuaskan Durkheim, berdasarkan data statistik tidak terlihat adanya hubungan antara tingkat bunuh diri dengan variabel-variabel ekologis seperti iklim, suhu dan kelembaban udara baik di Eropa maupun tempat-tempat lain. Durkheim menegaskan penolakannya terhadap anggapan tafsir ekologis ini dengan mengatakan bahwa walaupun tingkat bunuh diri meningkat pada bulan Januari hingga Juli, dimana pada bulan-bulan tersebut memang merupakan musim panas yang menyengat namun bukan karena panasnya sengatan matahari yang mengakibatkan banyak orang melakukan tindak bunuh diri mealainkan karena aktifitas manusia di musim panas lebih padat ketimbang musim lainnya yang menyebabkan timbulnya tekanan yang cukup hebat dalam diri manusia. Intinya, faktor ekologis tersebut tidak mempengaruhi peningkatan bunuh diri namun lebih disebabkan oleh kondisi sosial.
Disamping itu, Durkheim juga menguji dan menolak teori imitasi yang dikemukakan oleh seorang teoritikus yang sezaman dengannya, psikolog sosial Perancis bernama Gabriel Tarde (1834-1904). Teori imitasi mengatakan bahwa seseorang melakukan bunuh diri (dan dalam ranah tindakan lain) karena meniru tindakan orang lain. Durkheim mengakui bhawa beberapa individu yang melakukan bunuh diri memang bisa saja karena meniru, namun ini hanyalah faktor kecil yang tidak memiliki pengaruh signifikan dalam rangka bunuh diri secara keseluruhan.
Berangkat dari ketidakpuasan atas penjelasan yang ada, Durkheim mencoba menjelaskan penyebab bunuh diri secara sosiologis. Namun, tidak semua proposisi dasar penjelasan yang ada disanggahnya, dalam batas-batas tertentu ada yang diterimanya, misal: ia mengakui bahwa bunuh diri bukan merupakan gejala yang lepas dari pengaruh gejala-gejala di luar gejala sosial. Menurutnya, walaupun bunuh diri merupakan keputusan individu namun tingkat bunuh diri tidak dapat dipandang sebagai tindakan individual. Bunuh diri merupakan gejala sosial dalam masyarakat dan juga sebuah fakta sosial sui generis (tak bisa direduksi menjadi fakta lain) karena memiliki sifat-sifat dasarnya sendiri.

Tipe-Tipe Bunuh Diri Menurut Durkheim
Berangkat dari asumsi dasar bahwa bunuh diri merupakan gejala kolektif, Durkheim melakukan telaah sosiologisnya untuk mencari penyebab bunuh diri dengan dua fakta sosial utamanya, yaitu:
1.      Integrasi, merujuk pada kuat tidaknya keterikatan dengan masyarakat, pada fakta integrasi Durkheim mengklasifikasikan tipe bunuh diri menjadi 2, yaitu:
·         Egoistic suicide: bunuh diri yang terjadi karena rendahnya tingkat integrasi suatu kelompok sosial. Lemahnya integrasi ini menimbulkan perasaan bahwa individu bukan bagian dari masyarakat bukan pula bagian dari individu. Ringkasnya, kecenderungan bunuh diri beragam berdasarkan tingkat integrasi kelompok sosial tempat individu berada. Untuk sampai ke kesimpulan umum ini, Durkheim membandingkan tingkat bunuh diri yang terjadi dari tahun ke tahun di berbagai kelompok sosial: kelompok keagamaan, kelompok domestik (keluarga) dan masyarakat politik.
·         Altruistic suicide: bunuh diri yang terjadi akibat dari integrasi sosial yang sangat kuat di dalam masyarakat. Salah satu contoh dari kasus bunuh diri altruistis adalah bunuh diri massal yang dilakukan oleh pengikut Pendeta Jim Jones di Jonestown, Guyana (1978).
Menurut Durkheim, ada perbedaan mendasar diantara bunuh diri altruistik dengan bunuh diri egoistik. Perbedaan penyebab membuat tipe bunuh diri ini berbeda dengan yang lain, dan emosi yang mengalir di satu tipe berbeda dengan yang lain. Pada tipe bunuh diri egoistik seseorang merasakan kejerihan yang tak terobati dan tekanan batin yang luar biasa. Bunuh diri dalam hal ini, merupakan upaya melepaskan diri dari semua tekanan tersebut, lantaran sang pelaku tak mampu menemukan tempat untuk meringankan bebannya ini. Namun pada tipe altruistik, bunuh diri berasal dari harapan; kepercayaan bahwa ada sesuatu yang indah di balik kehidupan ini. Bunuh diri ini bahkan dilakukan dengan antusias dan dengan keyakinan akan mendapat kepuasan yang meluap-luap. Bunuh diri ini dilakukan dengan suatu semangat yang luar biasa. Secara khusus ada tiga tipe utama bunuh diri altruistik, ketiganya saling berkaitan satu sama lain. Tipe-tipe bunuh diri itu adalah:
·         Obligatory altruistic suicide, yaitu bunuh diri yang dilakukan seseorang bukan karena hal ini merupakan haknya tetapi karena kewajibannya. Jika orang yang bersangkutan gagal melaksanakan kewajiban ini, ia akan kehilangan kehormatannya dan juga mendapat sanksi yang biasanya bersifat keagamaan. Bunuh diri tipe ini terlihat dalam kasus-kasus di masyarakat tertentu. Contoh: adat budaya di India yang mengharuskan seorang janda untuk melakukan bunuh diri bersamaan dengan kematian suaminya, budaya “hara-kiri” dikalangan samurai Jepang pada zaman dahulu.
·         Optional altruistic suicide, yaitu sub-tipe bunuh diri yang dilakukan bukan atas dasar kewajiban (yang bersifat memaksa) yang ditetapkan secara eksplisit oleh masyarakat, tetapi atas dasar dukungan masyarakat. Maksudnya, mereka yang rela melakukan tindakan bunuh diri akan memperoleh penghargaan dan kehormatan, contoh: “kamikaze” yang dilakukan oleh para prajurit Jepang saat PD II untuk melindungi negaranya dari serangan sekutu.
·         Acute altruistic suicide atau mystical suicide, tipe ini merupakan bunuh diri dimana sang pelaku membunuh dirinya murni karena kepuasannya untuk mengorbankan diri. Tak ada alasan yang membuat bunuh diri kategori ini dapat disebut sebagai tindakan yang terpuji oleh masyarakat. Jadi, bunuh diri dalam tipe ini bukan karena adanya unsure kewajiban/paksaan, dan bukan juga karena didorong oleh keinginan pelakunya untuk mendapatkan kehormatan. Kasus-kasus bunuh diri ini sendiri terdapat antara lain di India (di kalangan para Brahma) dan juga di suku-suku tertentu di Jepang. Bentuknya: menjatuhkan diri ke dalam gunung berapi dalam suatu upacara keagamaan sementara warga lainnya menontonnya.
Semua sub-tipe bunuh diri altruistik di atas merupakan gejala yang biasa dijumpai di masyarakat yang disebut Durkheim sebagai “lower society”. Namun ia pun dapat ditemukan di “more recent civilizations” khususnya di kalangan penganut agama Kristen. Dalam dunia kemiliteran, Durkheim menemukan bahwa tingkat bunuh diri dapat dikategorikan berdasarkan lama waktu kedinasan, kepangkatan, dan kesukarelaan memasuki dunia kemiliteran. Berdasarkan analisa statistik yang dilakukannya, ia menemukan:
1.      Tingkat bunuh diri yang tinggi terjadi di kalangan tentara yang memiliki masa dinas lama.
2.      Tingkat bunuh diri di kalangan perwira lebih tinggi daripada di kalangan prajurit.
3.      Tingkat bunuh diri di kalangan tentara yang memasuki dinas kemiliteran secara sukarela lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak.
Durkheim menjelaskan bahwa semakin lama masa dinas seorang militer, semakin tinggi penghayatannya tentang moral dunia militer dan semakin terserap pula mereka ke dalam dunia kemiliteran. Hal ini membuat kerelaan untuk mengorbankan diri untuk dunia kemiliteran (dalam wujud tindakan bunuh diri) pun menjadi lebih besar. Untuk memperkuat temuan ini, Durkheim juga mencari bukti statistik lain. Ia membandingkan angka bunuh diri di kalangan pasukan elite dan tentara biasa, serta antara kalangan militer dan sipil. Tren serupa pun ditemukannya, dan hal ini memperkuat pandangan Durkheim tentang gejala bunuh diri altruistik.
Jika tingginya angka bunuh diri egoistis ditentukan oleh “kelelahan yang tidak dapat disembuhkan dan depresi yang menyedihkan” maka bunuh diri altruistis makin banyak terjadi jika “makin banyak harapan yang tersedia, karena dia bergantung pada keyakinan akan adanya sesuatu yang indah setelah hidup di dunia lain”. Ketika integrasi mengendur, seseorang akan melakukan bunuh diri karena tidak ada lagi kebaikan yang dapat dipakai untuk meneruskan kehidupan. Sebaliknya, ketika integrasi menguat, mereka melakukan bunuh diri justru demi kebaikan yang lebih besar.
1.      Regulasi, merujuk pada tingkat paksaan eksternal yang dirasakan individu. Berdasarkan fakta regulasi ini, Durkheim mengklasifikasikan tipe bunuh diri menjadi 2, yaitu:
·         Anomic suicide: bunuh diri yang terjadi ketika kekuatan regulasi masyarakat terganggu dimana terjadi ketidakjelasan norma-norma yang mengatur cara berpikir, bertindak dan merasa para anggota masyarakat, gangguan itu mungkin membuat individu merasa tidak puas karena lemahnya kontrol terhadap nafsu mereka, yang akan bebas berkeliaran dalam ras yang tidak akan pernah puas terhadap kesenangan. Menurut Durkheim, suatu keadaan anomik dapat dilihat dari indikator ekonomi maupun domestik. Analisa statistik Durkheim memperlihatkan bahwa krisis ekonomi membuat orang kehilangan arah. Dalam keadaan seperti ini, ungkap Durkheim mereka harus beradaptasi dengan kondisi yang menimpa mereka, kondisi yang sangat menyiksa; mereka membayangkan penderitaan karena serba berkekurangan bahkan sebelum mereka mencoba kehidupan ini. Pertumbuhan kemakmuran yang mendadak dalam masyarakat juga memiliki dampak serupa terhadap peningkatan angka bunuh diri dalam masyarakat.
·         Fatalistic suicide: bunuh diri yang terjadi ketika regulasi meningkat. Durkheim menggambarkan seseorang yang melakukan bunuh diri fatalisstik seperti “seseorang yang masa depannya telah tertutup dan nafsu yang tertahan oleh disiplin yang menindas”. Contoh klasik dari bunuh diri ini adalah budak yang menghabisi hidupnya karena putus asa akibat regulasi yang menekan setiap tindakannya.
Bagi Durkheim, keluarga mempunyai peranan penting sebagai institusi yang membangun norma-norma dan keterikatan sosial pada para anggotanya. Karenanya, lepasnya seseorang dari ikatan keluarga –baik karena tidak menikah atau karena faktor lain-membuat dirinya kehilangan pegangan untuk bertindak, berpikir dan merasa. Dengan demikian, tingkat bunuh diri di antara mereka yang tidak terikat dalam ikatan perkawinan dan keluarga lebih tinggi daripada mereka yang berkeluarga. Berdasarkan analisa tentang hubungan di antara tipe-tipe bunuh diri dan kesadaran kolektif seperti yang telah dikemukakan di atas, jelaslah bahwa bunuh diri merupakan gejala sosial, fakta sosial dan bukan sekedar gejala individual.
Durkheim mengakhiri studinya tentang bunuh diri dengan sebuah pembuktian apakah reformasi bisa diandalkan untuk mencegah bunuh diri. Usaha-usaha yang selama ini dilakukan untuk mencegah bunuh diri gagal karena ia dilihat sebagai problem individu. Bagi Durkheim, usaha langsung untuk meyakinkan individu agar tidak melakukan bunuh diri ternyata sia-sia, karena penyebab riilnya justru ada dalam masyarakat.

1 komentar:

  1. Strange "water hack" burns 2 lbs in your sleep

    Well over 160,000 men and women are losing weight with a easy and SECRET "liquid hack" to lose 2lbs each night as they sleep.

    It is very easy and it works with everybody.

    This is how to do it yourself:

    1) Go get a drinking glass and fill it with water half full

    2) Proceed to do this amazing HACK

    and be 2lbs thinner when you wake up!

    BalasHapus